Kamis, 03 Januari 2008

Misteri Di Balik Arogansi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang disebut arogan itu adalah orang yang punya perasaan superioritas dan itu dimanifestasikan ke dalam sikap yang suka memaksa, kepongahan, kecongkakan, atau keangkuhan. Dalam praktek sehari-hari, arogansi itu kita masukkan ke dalam list kesombongan. Semua naluri universal manusia di dunia ini tidak ada yang bisa menerima kesombongan. Manusia diberi naluri yang membenci kearogansian dan menyukai kerendahan hati. Karena itu, orang yang paling arogan sekali pun akan menolak kearogansian yang ditunjukkan orang lain.

Semua Kitab Suci di dunia ini melarang berbagai bentuk kearogansian. Firman Kitab Suci itu bukan untuk memberi tahu (sebab semua manusia sudah tahu), melainkan lebih untuk mengingatkan (reminder). Mungkin, karena kita sering lupa atau tidak sadar, meskipun kita sudah tahu, maka dibutuhkanlah reminder supaya sadar dan ingat. Salah satu alasan kenapa reminder itu penting karena kearoganan seseorang dapat mencelakakan dirinya.

Celaka yang paling ringan dan itu sangat nyata adalah: arogansi itu akan menjadi sumber kesalahan dalam memperlakukan diri sendiri dan orang lain. Jika ini diterjemahkan dengan teori kompetensi, arogansi itu akan membuat seseorang lemah dalam hal intrapersonal dan interpersonal skill. Arogansi adalah penyimpangan. Orang bijak bilang, kita tidak bisa melangkah secara lurus apabila di dalam pikirannya ada penyimpangan.


Pertanyaan yang terkadang membingungkan adalah, jika hati nurani manusia itu menolak kearoganan dan mengetahui apa yang baik, namun kenapa kenyataanya kearoganan ini terkadang kerap muncul? Baik kalau dilihat dari literatur atau dari praktek hidup, ternyata kearoganan yang ada pada kita itu menjadi persoalan dan pembahasan yang tidak semudah kita melihat tampilan fisiknya. Sebagian alasannya adalah, karena motif yang berada di baliknya bermacam-macam.

Jika kita menolak kebaikan orang lain dengan motif karena gengsi atau tinggi hati, ini juga dekat dengan arogansi. Jika kita menolak nasehat orang lain (yang pada hakekatnya itu sangat kita butuhkan), dengan motif untuk menunjukkan bahwa kitalah yang sudah paling benar, inipun dekat. Jika kita menjelaskan diri sendiri dengan penjelasan yang "wah-wah" (tetapi ini bertentangan dengan realitas kita) dengan motif supaya orang lain memandang kita "wah", inipun dekat. Jadi, arogansi itu terkadang muncul karena motif-motif untuk menutupi kekurangan, ketakutan, ketidakmampuan, atau karena ada sesuatu yang less and minus pada diri kita. Arogansi bisa tampil sebagai bentuk pelampiasan dari keminderan (feeling of lack and feeling of fear).

Tetapi adakalanya tidak begitu. Arogansi itu muncul karena memang secara faktanya kita punya alasan-alasan untuk arogan. Ini misalnya saja ada orang yang menjadi arogan karena kekayaannya, karena ilmunya, karena prestasinya, karena keahliannya, karena pengalamannya, karena keluarga-besarnya, dan lain-lain.

Dalam praktek manajemen, salah satu yang dianggap sangat danger dari orang yang sudah punya pengalaman kerja bertahun-tahun adalah munculnya arogansi yang dimanifestasikan ke dalam bentuk sikap atau sifat, antara lain: merasa sudah penuh, menganggap orang lain rendah, dan lain-lain. Jadi yang menjadi motif arogansi di sini adalah prestasi seseorang.

Hal lain yang kerap terjadi juga, adakalanya kearoganan seseorang itu tampil karena dipicu oleh faktor-faktor eksternal tertentu. Arogansi di sini sebagai reaksi yang sifatnya temporer. Ini misalnya ada seseorang yang direndahkan atau merasa direndahkan harkat dan martabat hidupnya lalu melakukan tindakan dalam bentuk penyikapan dan perlakuan yang senada. Kesombongan yang ditampilkan di sini adalah bentuk kesombongan reaktif atas kesombongan orang lain.

Selain karena reaksi, ada juga bentuk-bentuk kesombongan yang ditampilkan seseorang sebagai bawaan (trait). Bawaan di sini maksudnya adalah sifat-sfat yang melekat pada seseorang dan itu sudah lama dan tidak pernah diupayakan perbaikannya sehingga menjadi semacam label. Kesombongan yang sifatnya seperti ini juga kerap kita jumpai.

Ini mungkin terkait dengan asuhan, pengalaman masa lalu, dan lain-lain. Bahkan, kalau mendengar komentar banyak orang di lapangan, kesombongan macam ini tidak saja terkait dengan sejarah kehidupan personal. Adakalanya terkait juga dengan sejarah kehidupan sosial dalam sebuah masyarakat lalu individu-individunya memanifestasikannya sebagai sikap personal.

Apa yang menjadi sumber?

Teorinya, semua akhlak manusia, entah itu yang baik atau yang buruk, itu pasti ada pengaruh dari dua faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Dalam teori akhlak dikatakan bahwa akhlak manusia itu terbentuk dari beberapa hal, antara lain: bawaan dari kecil, pengetahuan, pengalaman, sekolah, orangtua, lingkungan di masyarakat, bacaan, sikap mental, atau kebiasaan.

Dalam kajian Psikologi dikenal istilah Narcissistic Personality Disorder (NPD). Psychology Today (2007), menulis bahwa orang-orang yang tergolong narsistik ini antara lain tipenya adalah: arogan, congkak, self-centered, angkuh atau tinggi hati. Orang yang tergolong narsistik itu membayangkan dirinya sebagai superior atau di atas dari orang lain dan sehingga mereka bersikukuh untuk merefleksikan gaya hidup sukses secara berlebihan.

Di samping itu, mereka juga haus pujian dan perhatian untuk memperkuat harga-dirinya. Akibatnya, orang narsistik model ini sangat sensitif terhadap berbagai macam kritik. Bahkan kerapkali dianggapnya kritik itu sebagai upaya untuk menjatuhkan atau menyerang. Gejala dan ciri-cirinya antara lain dijelaskan sebagai berikut:

- Memberikan reaksi yang berlebihan terhadap kritik, misalnya marah atau merendahkan

- Memanfaatkan / menggunakan orang lain untuk mencapai tujuannya, misalnya dikit-dikit menyuruh orang lain dengan bahasa yang "menyuruh" atau meng-eksploitasi orang lain

- Merasa dirinya sebagai orang penting dalam kadar yang berlebihan

- Menikmati khayalan-khayalan yang terkait dengan kehidupan sukses, glamor atau mewah dalam kadar yang tidak sesuai kebutuhan obyektif.

- Mengharapkan perlakuan yang tidak rasional

- Butuh perhatian dari orang lain, haus pujian

- Mudah tersinggung atau mudah iri atau mudah cemburu

- Kurang empati terhadap orang lain


Secara sain tidak ditemukan sebab-sebab yang sifatnya exact kenapa orang itu menjadi narsistik. Tapi banyak riset yang mengungkap bahwa memang ada faktor tertentu yang terkait dengan masa kecil. Ini antara lain terlalu sering dibela orangtua yang sifatnya bukan mendidik, pujian yang berlebihan (lebih-lebih yang tidak faktual), orangtua yang lemah di depan anaknya, dan kurang didikan untuk meresponi realitas secara realistis, fair dan obyektif.

Itu adalah sumber eksternal yang mempengaruhi pada saat kita belum memiliki kapasitas untuk memilih (feedom to choose) atau ketika masih anak-anak. Setelah kita dewasa, sebab-sebab itu tidak berlaku meskipun benar adanya. Kenapa? Mau kita mendapatkan pengasuhan model apapun, dampak buruk dari kesombongan itu tidak akan kembali ke model pengasuhannya, melainkan ke diri kita. Karena itu, setelah kita dewasa, faktor internal menjadi penentu. Berbicara soal faktor internal ini, ada beberapa hal yang bisa kita telaah untuk menjelaskan sumber-sumber kesombongan. Sebagiannya antara lain:

Pertama, kedengkian. Kedengkian ini mengandung tiga pengertian, yaitu: a) kita tidak ingin melihat orang lain lebih atas dari kita, b) kita ingin apa yang sudah diterima orang lain itu pindah ke tangan kita, c) kita ingin prestasi yang didapatkan orang lain itu segera hilang dari sisinya. Gaya hidup yang disemangati energi kedengkian ini kerap memunculkan kesombongan. Kesombongan yang muncul itu bisa jadi untuk menutupi keminderan atau untuk menunjukkan kecongkakan dan kebanggaan yang berlebihan

Kedua, kebodohan. Kebodohan di sini pengertiannya adalah menutup pintu pikiran atau yang sering disebut "jahil" (to cover). Jadi bukan bodoh dalam arti bukunya sedikit, level pendidikannya rendah, tidak berlangganan koran atau majalah, atau gelar akademiknya tidak ada. Kebodohan seperti apa yang kerap membuat kita sombong? Ini misalnya saja: kita merasa paling benar, merasa tidak perlu belajar dari orang lain, merasa bahwa seluruh opini orang lain itu salah, dan lain-lain.

Virus kebodohan dalam pengertian yang hakiki ini bisa menyerang siapa saja. Bisa menyerang orang yang pinter, orang bergelar akademik bagus, orang yang level pendidikan akademiknya rendah, orang yang ingin menjadi shaleh, dan lain-lain. Orang yang tidak tahu, namun merasa tahu segalanya dan menolak dikasih tahu, adalah kebodohan. Orang yang sudah tahu, namun merasa paling tahu, juga kebodohan.

Pemahaman keagamaan, penguasaan ilmu pengetahuan, akumulasi pengalaman dan prestasi hidup kerap membodohkan kita sejauh tidak segera sadar untuk membuka pikiran (the open mind). Tapi, menurut pengalaman pribadinya Einstein, yang paling sering membuat orang menjadi bodoh (menutup pikiran) itu adalah ketidaktahuan. Lebih-lebih lagi jika ketidaktahuan itu dibarengi dengan "keras kepala" (stubbornness). Sempurnalah di situ.

Ketiga, ketidakseimbangan dalam menaruh lokus kontrol. Supaya hidup ini seimbang, maksudnya, supaya kita tidak over dan tidak minder, kita diperintahkan untuk menaruh pusat kontrol pada dua tempat. Yang pertama, kita diperintahkan untuk menaruhnya di dalam diri kita. Jadikan diri sendiri sebagai pusat kontrol yang utama. Yang kedua, pasang juga controller di luar (jadikan orang lain sebagai cermin untuk memperbaiki diri).

Jika ini tidak seimbang, kesombongan sangat kerap muncul. Misalnya saja kita lebih intensif melihat ke dalam dan lebih mengabaikan orang lain. Ini kerap membuat kita seperti katak dalam tempurung. Kita merasa hebat sendiri, merasa sudah segala-galanya. Bisa juga kita malah merasakan yang sebaliknya. Kita memendam keminderan yang tidak beralasan.

Sebaliknya, jika kita lebih intensif melihat ke luar dan mengabaikan kebutuhan untuk melihat ke dalam, inipun begitu. Keseringan melihat ke luar dapat berpotensi membuat kita kehilangan pijakan, kurang punya pengetahuan-diri yang lebih akurat, dan lain-lain. Hilangnya pijakan inilah yang berpotensi memunculkan ke-disorder-an. Sebagian bentuknya ya kesombongan itu. Bahkan ini lebih sering melahirkan kesombongan yang sangat tidak beralasan.

Keempat, kematangan hidup. Semakin kurang matang kita, semakin sering kesombongan itu muncul. Seperti apa kematangan hidup itu? Kalau menyimak nasehatnya Tao, kematangan itu adalah buah dari penyelaman atau pemaknaan seseorang terhadap realitas. Ini sama persis seperti nasehat tradisi kita. Sering digambarkan orang itu seperti padi. Semakin berisi dia, semakin ke bawah dia. Semakin banyak orang itu mencerna (bukan sekedar mengalami) berbagai realitas hidup, semakin dalam "understanding" nya.

Banyak nasehat agama yang menganjurkan agar kita melihat realitas dengan berbagai warna-warninya. Misalnya kita diperintahkan untuk menjenguk orang yang sakit, menolong orang yang sedang kesusahan, menghadiri pemakaman, dan lain-lain. Ini semua sebetulnya adalah instrumen agar lebih "down" ke realitas. Selain diberi instrumen yang bermacam-macam, kita pun diberi naluri universal, misalnya saja, semua orang itu (pada hakekatnya) takut mati, meskipun kematian itu kepastian. Semua orang mengkhawatirkan bencana, meskipun terkadang tak bisa (sulit) dihindari. Ini semua adalah bentuk instrumen alamiyah yang bisa kita gunakan untuk mematikan virus kesombongan.

Kelima, hedonisme. Dalam prakteknya, hedonisme ini sering dipahami sebagai ajaran / doktrin hidup yang menempatakan kebahagian dan kesenangsenangan sebagai tujuan tunggal. Sebetulnya bukan ini yang membuat hedonisme ini dipandang kurang positif. Lalu apanya? Hedonisme menempatakan materi atau kemewahan materi sebagai sumber tunggal kebahagian dan kesenangsenangan. Hedonisme mengenyampingan spiritualitas. Kekuatan spiritualitas yang dikesampingkan inilah yang menjadi sumber kenegatifan, termasuk salah satunya adalah kesombongan.

Kalau dikembalikan ke agama, hedonisme ini dilihat sebagai celah yang memudahkan setan (energi negatif) masuk ke jiwa kita. Begitu setan sudah masuk ke jiwa, maka yang akan dilakukan adalah menyulutkan api permusuhan (batin atau lahir), persaingan yang tidak sehat, atau proses perbandingan pencapaian prestasi yang terlepas dari akar kesadaran untuk memperbaiki diri (berlomba-lomba dalam mengumpulkan harta dan kekayaan dan "memamerkannya").

Karena itu, peradaban mengajarkan kita untuk menghidupkan spiritualitas. Spiritualitas bukanlah anti kekayaan dan kemewahan. Spiritualitas di sini adalah kesadaran yang mempertanyakan: "apa alasan mendasar dari tindakan kita, apa tujuannya, bagaimana supaya hidup kita ini lebih bermakna lagi bagi diri sendiri dan orang lain?". Ini dimaksudkan agar langkah kita tetap dalam keadaan terkontrol.

Proses Pembelajaran

Sedikitnya ada dua fakta yang bisa menjelaskan kesombongan di dalam diri manusia. Yang pertama, semua orang tidak suka melihat kesombongan di dalam diri orang lain. Yang kedua, tidak ada orang yang bisa menerima dengan ikhlas apabila kesombongannya dikoreksi orang lain. Karena itu, solusi yang paling efektif adalah koreksi dari dalam diri. Bagaimana caranya? Sebagian proses yang bisa kita lakukan adalah:

Pertama, selalu menciptakan perbandingan positif. Artinya, kita melihat orang lain sebagai makhluk yang punya kelebihan dan mempunyai sesuatu materi yang bisa kita jadikan untuk memperbaiki diri, siapapun orang lain itu. Kalau kita melihat orang yang di atas kita lalu kita berusaha menemukan materi perbaikan-diri, maka kearoganan akan terkendali. Begitu juga kalau melihat yang setara atau yang di bawah. Jadi intinya adalah memunculkan keyakinan dan perspektif bahwa setiap orang lain yang kita lihat itu ada sisi-sisi tertentu yang menjadi kelebihannya dan itu bisa kita jadikan materi perbaikan-diri.

Kedua, koreksi langsung. Terkadang kita memunculkan ucapan, prilaku, dan sifat-sifat yang mengandung kesombongan dan itu baru kita sadari setelah terjadi atau setelah kita renungkan. Tindakn bijak yang perlu kita lakukan adalah mengoreksi apa yang sudah kita lakukan supaya ini tidak terjadi lagi dan merumuskan format ucapan, prilaku, atau sifat-sifat yang jauh dari kandungan kesombongan.


Ketiga, menumbuhkan dorongan untuk melakukan proses learning (pembelajaran hidup). Menurut teori-teori learning, ada tiga prinsip yang mutlak harus dijalankan supaya kita melakukan proses itu, yaitu:

- membuka pikiran (open mind): menambah wawasan, mempertimbangan pendapat orang lain, menghilangkan nafsu "merasa sudah paling benar sendiri", dan lain-lain

- memunculkan dorongan untuk berubah ke arah yang lebih bagus secara terus menerus. Begitu kita sudah merasa telah mencapai puncak dan segala puncak, biasanya setan mudah menggoda kita untuk menjadi sombong

- memperbaiki diri berdasarkan apa yang sudah kita lakukan, baik yang salah atau yang benar, baik yang bagus atau yang jelek, dan seterusnya.

Proses belajar ini pada gilirannya akan memahamkan kita pada realitas hidup yang sebenarnya.

Keempat, belajar hidup sederhana. Sederhana di sini bukan berarti miskin atau berpura-pura miskin. Sederhana adalah moderasi yang proporsional. Sederhananya orang kaya adalah menghindari kefoya-foyaan atau berlebih-lebihan untuk hal-hal yang manfaatnya kecil. Sedangkan sederhananya orang yang belum / tidak kaya adalah menghindari munculnya nafsu untuk mendapatkan kekayaan dengan cara yang menyengsarakan diri sendiri. Ini agar kita tidak masuk ke dalam perangkap hedonisme.


Kelima, belajar memilih ungkapan, penyikapan dan keputusan yang bersumber dari kerendahan-hati (humble). Caranya? Tentunya bermacam-macam. Misalnya saja: melihat cara orang lain, membaca buku, mengoreksi diri kita di masa lalu, dan lain-lain. Kenapa ini penting? Dalam prakteknya selalu ada Hukum Paradok yang bekerja di dunia ini. Hukum itu menggariskan bahwa ketika kita humble, justru feedback yang muncul adalah sebaliknya. Sebaliknya, begitu kita tinggi hati (arrogant), feedback yang muncul juga sebaliknya.

Itulah sebagian dari sekian proses yang bisa kita jalankan. Semoga ini bermanfaat.